Showing posts with label Selling Skill. Show all posts
Showing posts with label Selling Skill. Show all posts
Tuesday, September 24, 2013 0 comments

ARLOJI SWISS, NOKIA DAN KODAK



Oleh Rhenald Kasali

Pada tahun 1960-an dipergelangan tangan manusia nyaris hanya ada arloji “made in Swizerland.” Jam tangan buatan Swiss itu menguasai market share di atas 60 persen. Tetapi tahun 1980-an market share-nya tinggal 15 persen
Pada tahun1970-an , dunia hanya mengenal film roll merek Kodak dan Fuji. Kini Kodak sudah tiada, sedangkan Fuji berevolusi ke dunia digital (lab, health, dan lain-lain). Beberapa tahun lalu, kita juga menyebut Nokia sebagai “HP sejuta umat", tetapi minggu lalu kita mendengar divisi handset Nokia diakusisi Microsoft.
Apa yang tengah terjadi dengan Strong Brand itu? Bukankah di Indonesia juga ada ribuan strong brand yang tinggal kenangan?
Ketika berhadapan dengan menurunnya Revenue from Sales, biasanya eksekutif mempersoalkan marketing. Yang satu mengutak-atik branding, yang lain membongkar sales, komisi penjualan, packaging dan seterusnya. Padahal masalahnya bisa jadi bukan di situ. Masalahnya bukan inside the “odds”, melainkan sesuatu yang telah berubah.

Nokia

Siapa yang tak kenal Nokia? Selain pernah menjadi sahabat banyak orang di sini, Nokia adalah Harvard business case study yang sangat menarik. Ia beralih dari merek sepatu menjadi ponsel dengan pendekatan “human touch” dan “connecting people.” Bentuknya jauh lebih fashionable daripada pesaing-pesaingnya: Motorola atau Ericsson.
Dari Nokialah, di Harvard, para eksekutif belajar cara membangun keunggulan daya saing. Ya daya saing perusahaan, daya saing negara (Finland), hingga bagaimana policy makers membangun kluster, industri-industri pelengkap dan kebijakan yang pro-business sehingga menciptakan lapangan kerja yang produktif dan kreatif. Kita berpikir, sekali daya saing didapat maka dengan prinsipitu akan di dapat sustainability. Dan itu artinya kesejahteraan.
Tetapi minggu lalu, Microsoft mengakusisi divisi handset Nokia dengan nilai 7,2 miliar dollar AS. Para investor bereaksi negatif, karena keduanya, baik Microsoft maupun Nokia, sama-sama sedang berada dalam kubangan kesakitan. Semua orang tahu, penjualan PC dunia sedang drop, sehingga Microsoft perlu beralih ke bisnis mobile devices. Artinya industrinya sendiri tengah berubah.
Namun Nokia sendiri seperti juga tengah berada dalam kubangan kesulitan yang sama. Global market share –nya mengerucut, tinggal 15 persen. Ketika kesulitan terjadi, eksekutif Nokia melakukan hal serupa seperti perusahaan-perusahaan lainnya: Mengutak-atik keunggulan brand-nya. Mereka lalu menjalin hubungan dengan Microsoft, yang tertarik menggunakan software windows phone. Tetapi solusi ini keliru. Brand Microsoft tak mampu membuat Nokia lebih baik. Pasar telah beralih ke Android dan Nokia selalu terlambat menanggapinya. Bagi sebagian besar analis, akuisisi ini juga tak mampu menjadikan Microsoft seperti Apple yg telah terlanjur memiliki loyalis dalam kategori mobile devices.
Kekacauan seperti di Nokia juga pernah terjadi di Kodak beberapa tahun yang lalu, tak lama setelah masa-masa sulit industri roll film di 1970-1980 an yang terjadi akibat kenaikan harga perak (bahan baku processing lab photography yang penting). Kendati di tahun 1980an harga perak telah kembali stabil, eksekutif Kodak memilih duduk manis. Padahal pada tahun 1980-an Sony mulai menjelajahi kamera digital, dan Fuji segera menangkap peluang itu.
Di bawah Minoru Onishi, Fuji menambah dana riset untuk teknologi digital. Pada tahun 1999, total investasi risetnya di area ini mencapai  2 miliar dollar AS. Sehingga pada tahun 2003, mereka telah memiliki lebih dari 5.000 digital processing labs. Mereka juga menjelajahi dunia kesehatan (rontgent), office automation, dan manufactur untuk floppy disk.
Bagaimana reaksi Kodak? Kodak masih berkutat di seputar marketing: branding, location, pricing, packaging, advertising dan seterusnya. Ketika Fuji telah menguasai digital lab processing, Kodak baru memiliki beberapa puluh unit saja. Inilah awal kemunduran Kodak, dengan resiko brand yang kuat pun bisa mati kalau hanya menjalankan marketing strategy saja. Sales drop bukanlah melulu akibat marketing salah, melainkan sesuatu telah berubah.
Reaksi serupa juga terjadi di Modern Group, distributor tunggal roll film Fuji di sini. Modern Group juga mengalami kesulitan ketika bisnis roll film tak lagi digemari pasar. Sales revenue nya dalam bisnis ini drop dari Rp 2 triliun (2002) tinggal menjadi hanya Rp 212 miliar (2010) dan terus merosot. Beruntung mereka segera beruba. Di bawah Henry Honoris, Modern Grup menjelajahi dunia baru dengan bussines model 7 Eleven yang sama sekali baru, yang dilengkapi dengan fasilitas nongkrong anak muda. Bisnis inilah yang kini menyelamatkan Modern Group.

Analisis Industri
Kebanyakan kita umumnya belajar marketing dari tokoh-tokoh lama yang mengedepankan pentingnya mengeksploitasi keunggulan-keunggulan dan keunikan-keunikan diri. Dengan analisis industri model Five-forces, kita menjadi yakin bahwa competitive advantage perlu terus diperkuat dengan hal-hal strategis di dalam brand itu.
Tetapi di awal abad 21, business landscape telah berubah total. Analisis industri yang dulu kita lakukan dalam masing-masing industri telah berubah. Para pelaku perubahan tak lagi bermain dalam area yang sama, sehingga persaingan sudah berubah menjadi antar industri, bahkan antar business model. Dalam buku Cracking Zone, saya memperkenalkan kategori baru dalam inustri yang saya sebut sebagai Cracker, yang artinya orang-orang yang memperbaharui industri.
Nah bila, wabah crackership sudah melebar kemana-mana, competitive advantages jelas menjadi persoalan baru dan marketing tidak bisa lagi berjalan sendiri. Bahkan strong brand bisa saja tiba-tiba beralih menjadi problematic brand. Apalagi bila eksekutif puncaknya sudah terlalu dimanjakan oleh berbagai fasilitas yang membuat mereka merasa nyaman.
Mereka akan sangat mudah digoyang para business-modelist baru yang tiba-tiba merampok keunggulan mereka. Itulah yang tengah terjadi di hampir semua industri dan melahirkan teori transient dalam analisis industri baru.
Editor : Erlangga Djumen

Monday, May 13, 2013 0 comments

Anda Seorang Marketer Jika :


1.       Anda dapat memberi ide  bagaimana cara menjual sebuah produk.
2.       Anda “rajin” meng-update status di Facebook.
3.       Seketika anda merasa senang  saat mendapat pesan baru di inbox anda.
4.       Anda lebih memilih memperhatikan iklan-iklan yang ditayangkan TV dibanding mengganti channel.
5.       Anda dapat mengasosiakan dengan sebuah brand saat melihat warna atau font tertentu.
6.       Anda memiliki telinga yang “tajam” untuk mendengarkan informasi setiap peluang yang datang.
7.       Segala hal bisa menjadi ide tulisan di blog anda.
8.       Anda memberikan nama unik untuk anak, karena nama tersebut berpotensial menjadi sebuah brand ternama.
9.       Anda sukses menjelaskan manfaat membersihkan kamar kepada anak lelaki anda.
10.   Anda akan menganalisa dengan detail posisi penempatan barang di rak-rak display supermarket.
11.   Anda akan membuat judul subject email dengan kata-kata yang menarik, isi email padat, singkat dan atraktif serta  menandai hal-hal penting dengan “bullet point”.
12.   Anda membuat folder khusus yang berisi contoh-contoh email-email menarik yang dapat dishare dengan team anda.
13.   Anda “sadar  iklan” , bahkan saat anda sedang menonton film. 
Monday, April 29, 2013 0 comments

Menjual Lewat Media Sosial

Social media is not a media. The key is to listen, engage, and build relationships.” David Alston

Untuk bisa tetap eksis menjual seorang SALES harus mempelajari tentang SOCIAL MEDIA dan bagaimana menggunakan media ini untuk meningkatkan penjualan.

Berikut ini adalah 3 hal mendasar dan penting yang harus diketahui oleh setiap orang sales bila ingin meningkatkan penjualan melalui social media.

1. TOMATO

TOMATO merupakan kepanjangan dari Top Of Mind Awareness Through Others. Salah satu cara yang efektif untuk membangun TOMATO adalah dengan menggunakan Social Media. Karena melalui media sosial  anda bisa dengan mudah menambah jumlah kenalan anda.

Bayangkan bila anda mempunyai follower twitter, facebook, linkedin dan berbagai media lainnya sejumlah lebih dari 1000 orang, maka setiap kali anda melakukan aktivitas maka ada 1000 orang yang mengamati dan memerhatikan anda. Dan bila mereka suka dengan aktivitas yang anda lakukan maka mereka akan membicarakan anda dan mereferensikannya kepada relasi mereka.

2. 80 – 20

Prinsip 80 – 20 mempunyai pengertian bahwa ketika anda berinteraksi dengan kenalan dan relasi melalui social media maka 80 persen dari waktu yang anda gunakan adalah untuk berkomunikasi  dan sisanya 20 persen baru anda pergunakan untuk promosi produk/jasa anda.

Artinya anda harus terlebih dahulu membangun relasi dengan teman-teman social media anda sebelum menjual. Jadi kalau anda ingin menjual lewat social media gunakan 80% waktu untuk berinteraksi dan 20% baru menjual.

Contoh kongkritnya adalah setiap hari anda harus berkomunikasi dengan teman-teman social media anda, misalnya mengucapkan selamat ulang tahun, menanyakan kabar, dlsb. Setelah mereka menerima anda barulah anda bisa menjual kepada mereka.

3. Value Generator

Value Generator adalah seseorang yang memberikan sesuatu yang berguna kepada komunitasnya di social media, dalam hal ini bisa berupa informasi, ide, inovasi ataupun hal-hal lainnya yang dibutuhkan komunitasnya.

Untuk itulah anda harus memberikan sesuatu yang berguna kepada relasi anda, dibandingkan dengan membroadcast harga ataupun promosi produk. Sebagai contoh bila anda seorang sales mobil, anda bisa secara periodik mengirimkan tulisan tentang perawatan mobil dan tips-tips lainnya yang berhubungan dengan otomotif.

Bila anda menjadi Value Generator maka komunitas akan percaya kepada anda, dan ketika mereka percaya kepada anda, maka mereka akan membeli dari anda.

Oleh: Dedy Budiman
 
;